Pengertian dan Perkembangan Gas Air Mata
Gas air mata adalah senjata kimia non-mematikan yang digunakan untuk mengontrol massa, membubarkan kerumunan, atau melumpuhkan seseorang secara bertahap dengan menyebabkan iritasi pada mata, hidung, kulit, dan saluran pernapasan. Dikenal sebagai "gas air mata" karena efek utamanya adalah menyebabkan banyak air mata, rasa perih, dan kebingungan sesaat. Sebagian besar bahan aktifnya adalah aerosol padat yang disemprotkan ke udara melalui granat, peluru, atau semprotan kimia, meskipun disebut sebagai gas.
Senyawa yang paling sering digunakan dalam gas air mata antara lain CS (2-chlorobenzalmalononitrile), CN (chloroacetophenone), dan CR (dibenzoxazepine). Ketiganya bekerja dengan cara mengiritasi reseptor saraf sensorik di mata dan kulit, sehingga menimbulkan sensasi terbakar dan nyeri tajam.
Sejarah gas air mata dimulai pada awal abad ke-20, ketika senyawa kimia ini pertama kali dikembangkan untuk kepentingan militer. Pada Perang Dunia I (1914–1918), gas air mata digunakan oleh pasukan Prancis sebagai upaya melemahkan musuh tanpa membunuh. Setelah perang usai, penggunaannya mulai diatur secara ketat karena dampaknya terhadap kesehatan manusia.
Pada dekade 1930-an hingga 1960-an, gas air mata mulai banyak digunakan oleh aparat keamanan untuk mengendalikan kerusuhan sipil dan demonstrasi politik di berbagai negara. Hingga kini, senjata kimia ini masih dipakai oleh polisi di banyak negara, termasuk dalam situasi protes massal. Namun, penggunaannya tetap menuai kontroversi karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) dan dapat menyebabkan cedera serius, terutama jika digunakan di ruang tertutup.
Gas air mata kini menjadi simbol ambivalen antara keamanan dan kekerasan, mencerminkan dilema etis antara menjaga ketertiban dan melindungi kesehatan publik.
Jenis-Jenis Gas Air Mata dan Komposisinya
Gas air mata terdiri dari beberapa jenis senyawa kimia yang memiliki efek dan tingkat toksisitas berbeda-beda. Tiga jenis utama yang paling banyak digunakan secara global adalah CS gas, CN gas, dan CR gas, yang masing-masing memiliki karakteristik kimia dan fisiologis tersendiri.
1. CS Gas (2-Chlorobenzalmalononitrile)
CS gas adalah jenis gas air mata yang paling umum digunakan oleh aparat penegak hukum di seluruh dunia. Senyawa ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1950-an dan dianggap lebih aman dibandingkan CN. CS bekerja dengan mengiritasi selaput lendir mata, hidung, mulut, dan paru-paru, menyebabkan rasa terbakar hebat, keluarnya air mata berlebihan, dan kesulitan bernapas. Meski efeknya biasanya sementara, paparan berlebihan dapat menyebabkan luka bakar kulit dan kerusakan paru.
2. CN Gas (Chloroacetophenone)
CN gas merupakan generasi awal gas air mata yang dikembangkan sejak Perang Dunia I. Senyawa ini memiliki efek yang lebih kuat terhadap mata dan kulit dibandingkan CS, namun juga lebih toksik dan dapat menyebabkan cedera permanen pada mata jika terpapar dalam dosis tinggi. Karena sifatnya yang lebih berbahaya, CN kini jarang digunakan oleh aparat keamanan dan lebih sering digantikan oleh CS.
3. CR Gas (Dibenzoxazepine)
CR gas merupakan bentuk yang lebih baru dengan efek iritasi jauh lebih kuat, bahkan dalam konsentrasi rendah. CR menyebabkan nyeri kulit hebat seperti terbakar dan efek psikologis berupa panik atau sesak napas berat. Meskipun toksisitas sistemiknya rendah, efek lokalnya sangat menyakitkan.
Gas-gas ini biasanya disebarkan melalui granat gas, semprotan genggam, atau peluru gas yang dilepaskan dari alat pelontar. Bentuk penyebaran ini memungkinkan partikel kimia menyebar cepat di udara, menimbulkan efek luas dalam waktu singkat, terutama di area keramaian atau tertutup.
Cara Kerja Gas Air Mata Secara Ilmiah
Secara ilmiah, gas air mata bekerja dengan cara mengiritasi sistem saraf sensorik yang terdapat pada mata, hidung, kulit, dan saluran pernapasan. Ketika partikel kimia seperti CS, CN, atau CR terhirup atau mengenai kulit, senyawa ini segera bereaksi dengan membran mukosa, yaitu lapisan tipis yang melindungi organ-organ sensitif seperti mata dan hidung.
Mekanismenya dimulai saat molekul gas air mata larut dalam air atau cairan alami tubuh (seperti air mata, lendir hidung, atau kelembapan udara). Setelah larut, senyawa kimia ini membentuk asam kuat dan radikal bebas yang merangsang reseptor nyeri (nociceptors) dan reseptor TRPA1 (Transient Receptor Potential Ankyrin 1) — yaitu saluran ion di dalam sel saraf yang peka terhadap rangsangan kimia dan panas. Aktivasi reseptor ini menyebabkan sensasi terbakar, nyeri tajam, dan keluarnya air mata berlebihan, sebagai bentuk respon alami tubuh untuk mengeluarkan zat asing.
Di mata, iritasi ini menyebabkan lakrimasi (produksi air mata) yang intens, sedangkan di saluran napas, paparan gas menimbulkan refleks batuk, sesak napas, dan sensasi panas di tenggorokan. Hal ini terjadi karena gas menstimulasi saraf vagus yang berperan dalam pengaturan pernapasan.
Secara kimiawi, salah satu reaksi penting adalah interaksi antara senyawa CS (2-chlorobenzalmalononitrile) dan kelembapan udara. CS yang bersifat semi-padat akan bereaksi dengan uap air untuk membentuk asam klorida (HCl) dan senyawa iritan lainnya. Reaksi ini memperkuat efek korosif pada jaringan lembab seperti mata dan hidung. Itulah sebabnya efek gas air mata akan terasa lebih kuat di lingkungan lembab atau ketika seseorang berkeringat.
Dengan kata lain, gas air mata bekerja bukan karena membakar jaringan secara langsung, tetapi karena mengacaukan sistem saraf sensorik tubuh, memicu rasa nyeri dan reaksi pertahanan diri alami berupa air mata, batuk, dan keluarnya lendir secara berlebihan.
Dampak Gas Air Mata terhadap Kesehatan
Paparan gas air mata dapat menimbulkan berbagai efek fisiologis pada tubuh manusia, mulai dari reaksi ringan hingga gangguan kesehatan serius. Dampaknya bergantung pada jenis gas, konsentrasi, lama paparan, dan kondisi lingkungan, serta faktor individu seperti usia dan kondisi kesehatan.
Efek jangka pendek gas air mata biasanya muncul dalam hitungan detik setelah paparan. Gejala utamanya meliputi iritasi mata, rasa perih hebat, penglihatan kabur, dan keluarnya air mata secara berlebihan. Pada saluran pernapasan, gas ini menimbulkan batuk, sesak napas, rasa terbakar di tenggorokan, hingga mual dan muntah. Kulit yang terpapar gas dapat terasa panas dan terbakar, terutama jika terkena dalam waktu lama atau pada area lembap tubuh. Gejala tersebut umumnya mereda dalam beberapa jam setelah penderita menjauh dari sumber paparan dan mendapatkan penanganan yang tepat.
Namun, efek jangka panjang bisa jauh lebih berbahaya, terutama bila gas digunakan dalam ruang tertutup atau pada konsentrasi tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berulang dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru-paru (bronkitis kronis), penurunan fungsi pernapasan, iritasi kornea mata permanen, serta peradangan kulit kronis. Beberapa kasus juga mencatat potensi gangguan hormonal dan reproduksi pada wanita hamil akibat stres oksidatif yang ditimbulkan senyawa kimia tersebut.
Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penderita asma, dan ibu hamil memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi serius. Anak-anak bernapas lebih cepat dan memiliki paru-paru kecil, sehingga menghirup lebih banyak zat beracun dibanding orang dewasa.
Dalam sejumlah kasus nyata, penggunaan gas air mata telah berujung fatal. Misalnya, tragedi stadion Kanjuruhan di Indonesia (2022) dan beberapa kerusuhan sipil di Timur Tengah, di mana gas air mata yang ditembakkan di ruang tertutup menyebabkan kematian akibat sesak napas dan trauma. Peristiwa ini menunjukkan bahwa meskipun dikategorikan sebagai “non-mematikan”, gas air mata tetap memiliki potensi mematikan jika disalahgunakan atau digunakan tanpa memperhatikan keselamatan publik.
Toksikologi dan Bahaya Lingkungan
Gas air mata bukan hanya berbahaya bagi manusia, tetapi juga dapat menimbulkan dampak toksikologis dan ekologis yang signifikan terhadap lingkungan. Setelah disebarkan, partikel gas tidak langsung hilang; senyawa kimianya dapat bertahan di udara, menempel pada tanah, dinding bangunan, logam, bahkan mencemari sumber air.
Ketika dilepaskan ke udara, senyawa aktif seperti CS, CN, dan CR mengalami dispersi aerosol, membentuk partikel mikroskopis yang mudah terbawa angin. Partikel ini dapat bereaksi dengan uap air dan ozon atmosfer, menghasilkan zat iritan tambahan seperti asam klorida (HCl) dan senyawa organik volatil yang memperburuk kualitas udara. Akibatnya, polusi udara lokal meningkat, terutama di daerah perkotaan yang padat dan lembap. Selain itu, partikel gas dapat mengendap di tanah dan terbawa oleh air hujan, mencemari sungai atau saluran air di sekitarnya.
Dari sisi kimia, residu gas air mata yang menempel pada permukaan logam atau bahan bangunan dapat memicu reaksi korosif. Misalnya, senyawa CS yang mengandung klor dapat bereaksi dengan logam seperti besi atau aluminium, membentuk garam klorida yang mempercepat karat. Pada beton atau cat bangunan, reaksi kimia ini dapat menyebabkan perubahan warna dan degradasi struktural akibat sifat asam dari produk sampingnya.
Dampak ekologisnya juga tidak bisa diabaikan. Hewan peliharaan maupun satwa liar yang terpapar gas air mata bisa mengalami iritasi mata, gangguan pernapasan, dan stres akut. Burung yang hidup di area kota berpotensi mengalami kesulitan bernapas karena sistem pernapasan mereka sangat sensitif terhadap gas kimia. Selain itu, residu senyawa gas di air hujan atau tanah dapat mempengaruhi mikroorganisme tanah yang berperan penting dalam siklus nutrisi ekosistem.
Dengan demikian, meskipun gas air mata diklaim hanya berdampak sementara pada manusia, jejak kimianya dapat mencemari lingkungan dalam jangka panjang, mengganggu keseimbangan ekosistem dan menurunkan kualitas udara serta air di wilayah yang terpapar.
Cara Mengatasi dan Mengurangi Efek Paparan Gas Air Mata
Paparan gas air mata dapat menimbulkan rasa sakit, sesak napas, dan kepanikan, sehingga penanganan cepat dan tepat sangat penting untuk meminimalkan dampaknya. Langkah-langkah berikut merupakan panduan ilmiah dan praktis dalam menghadapi paparan gas air mata.
1. Langkah Darurat Saat Terkena Gas Air Mata
Segera menjauh dari sumber gas dan bergerak ke tempat terbuka yang memiliki sirkulasi udara baik. Hindari area rendah seperti selokan, karena gas air mata cenderung lebih berat dari udara dan akan mengendap di bawah. Jika memungkinkan, tutup hidung dan mulut dengan kain basah atau masker untuk mengurangi inhalasi partikel kimia. Lepas pakaian yang terkontaminasi karena kain dapat menyerap dan menahan partikel gas, lalu simpan di kantong tertutup agar tidak menyebarkan iritasi.
2. Cara Mencuci Muka dan Kulit yang Benar
Gunakan air bersih yang mengalir untuk membilas wajah, mata, dan bagian tubuh yang terkena. Bilas mata perlahan selama beberapa menit tanpa menekan kelopak. Hindari penggunaan sabun keras atau bahan berbasis minyak karena dapat memperluas penyerapan zat kimia ke kulit. Untuk kulit, gunakan sabun lembut atau larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) agar lebih aman.
3. Apa yang Tidak Boleh Dilakukan
Jangan menggosok mata atau kulit karena gesekan dapat memperparah iritasi dan memperluas luka. Hindari pula penggunaan air hangat, karena panas membuka pori-pori kulit sehingga mempercepat penyerapan zat kimia. Jangan memakai kembali pakaian yang sudah terpapar tanpa dicuci bersih.
4. Penggunaan Larutan Natrium Bikarbonat atau Susu (Mitos vs Fakta)
Beberapa orang percaya bahwa mencuci dengan larutan natrium bikarbonat (soda kue) atau susu dapat mengurangi efek gas air mata. Namun secara ilmiah, efektivitas metode ini belum terbukti konsisten. Larutan bikarbonat ringan mungkin membantu menetralkan keasaman, tetapi jika terlalu pekat justru dapat mengiritasi kulit. Sementara susu tidak memiliki efek kimia netralisasi dan malah berpotensi menjadi media pertumbuhan bakteri. Cara paling aman tetap menggunakan air bersih mengalir dan garam fisiologis sebagai penanganan utama.
Dengan penanganan cepat, tenang, dan sesuai prosedur, efek gas air mata dapat diminimalkan tanpa menimbulkan kerusakan jangka panjang.
Aspek Hukum dan Etika Penggunaan Gas Air Mata
Penggunaan gas air mata menimbulkan perdebatan global karena berada di wilayah abu-abu antara alat pengendali massa dan senjata kimia. Dari sisi hukum internasional, gas air mata diatur dalam Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention/CWC) tahun 1993, yang melarang penggunaan senjata kimia dalam perang, tetapi memperbolehkan penggunaannya untuk penegakan hukum dalam negeri—seperti pengendalian kerusuhan atau demonstrasi. Artinya, secara hukum internasional, gas air mata tidak boleh digunakan dalam konflik bersenjata, tetapi dapat digunakan oleh kepolisian dengan syarat ketat dan proporsional.
Namun, dalam praktiknya, penerapan aturan ini seringkali menjadi sumber kontroversi. Di satu sisi, gas air mata dianggap sebagai alat non-mematikan yang membantu aparat menghindari penggunaan kekerasan mematikan. Di sisi lain, penyalahgunaan dalam skala besar atau di ruang tertutup dapat menimbulkan korban jiwa, yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia. Beberapa organisasi seperti Amnesty International dan Human Rights Watch telah berulang kali mengecam penggunaan gas air mata terhadap warga sipil yang berunjuk rasa damai, karena dapat menyebabkan cedera serius, trauma, bahkan kematian.
Dari sudut pandang etika kepolisian, penggunaan gas air mata harus selalu memenuhi prinsip legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Artinya, aparat hanya boleh menggunakan gas air mata jika situasi benar-benar membahayakan keamanan publik dan metode lain gagal. Penggunaan di tempat tertutup, terhadap anak-anak, atau terhadap kerumunan yang tidak agresif dianggap melanggar standar etis penegakan hukum.
Secara moral, gas air mata menimbulkan dilema etis antara menjaga ketertiban dan melindungi hak-hak dasar manusia. Walaupun secara hukum diizinkan dalam konteks sipil, penyalahgunaannya dapat mengarah pada pelanggaran HAM, mencoreng citra institusi penegak hukum, dan menimbulkan krisis kepercayaan publik. Oleh karena itu, transparansi, pelatihan etis, dan pengawasan independen sangat diperlukan agar penggunaan gas air mata tidak berubah menjadi bentuk kekerasan yang terselubung.
Perbandingan dengan Senjata Non-Mematikan Lain
Gas air mata termasuk dalam kategori senjata non-mematikan (less-lethal weapons), yang dirancang untuk melumpuhkan atau mengendalikan seseorang tanpa menyebabkan kematian. Namun, efektivitas dan risiko setiap jenis senjata non-mematikan berbeda tergantung pada mekanisme kerja dan kondisi penggunaannya. Berikut perbandingan gas air mata dengan tiga alat non-mematikan lainnya: peluru karet, semprotan lada, dan stun gun.
1. Gas Air Mata
Gas air mata bekerja dengan menyebarkan partikel kimia iritan ke udara yang memicu respons biologis berupa perih di mata, batuk, dan kesulitan bernapas. Keunggulannya adalah mampu mengendalikan massa dalam jumlah besar dari jarak jauh tanpa kontak langsung. Namun, risikonya cukup tinggi jika digunakan di ruang tertutup, karena dapat menyebabkan asfiksia (kesulitan bernapas), luka bakar kimia, bahkan kematian. Selain itu, gas ini bersifat tidak selektif — artinya semua orang di area tersebut akan terkena, termasuk yang tidak terlibat dalam kekacauan.
2. Peluru Karet ( Bullets Of Rubber)
Peluru karet adalah proyektil yang terbuat dari karet yang keras yang ditembakkan dari senjata api khusus dengan tujuan melumpuhkan target secara fisik. Meskipun efektif untuk menghentikan orang yang agresif, tembakan dari jarak dekat dapat menyebabkan cedera serius seperti patah tulang, memar berat, dan cedera mata permanen. Oleh karena itu, penggunaannya harus sangat terkontrol dan hanya digunakan dalam keadaan ekstrim.
3. Semprotan Lada (Pepper Spray)
Semprotan lada mengandung oleoresin capsicum (OC), senyawa alami dari cabai yang menyebabkan rasa panas dan iritasi parah. Alat ini efektif untuk pertahanan diri individu atau pengendalian kerumunan kecil. Efeknya biasanya berlangsung 30–60 menit, namun dapat berbahaya bagi penderita asma karena menimbulkan kejang napas.
4. Stun Gun (Alat Kejut Listrik)
Stun gun bekerja dengan mengirimkan arus listrik bertegangan tinggi namun berarus rendah, yang mengganggu sinyal saraf otot, menyebabkan kehilangan keseimbangan sementara. Senjata ini sangat efektif untuk melumpuhkan individu secara langsung tanpa luka permanen, tetapi membutuhkan kontak fisik dekat, sehingga berisiko bagi pengguna jika berhadapan dengan massa besar.
Secara keseluruhan, gas air mata unggul dalam jangkauan dan cakupan area, sementara peluru karet, semprotan lada, dan stun gun lebih efektif untuk sasaran individu. Namun, semua alat ini tetap memiliki potensi bahaya serius jika digunakan tanpa standar keamanan dan etika yang ketat.
Penelitian Ilmiah dan Inovasi Terbaru
Studi toksikologi terbaru (CS & CN)
Ulasan dan studi lapangan menunjukkan CS tetap menyebabkan gangguan akut—lakrimasi, nyeri mata, batuk—dan paparan berat/berulang berhubungan dengan komplikasi respiratori jangka panjang pada beberapa populasi. Studi observasional pasca-protes Santiago 2019–2020 dan tinjauan klinis memperkuat temuan ini.
Bukti eksperimental (model hewan dan tinjauan toksikologi) menegaskan bahwa CN (chloroacetophenone) umumnya lebih toksik daripada CS, dengan potensi kerusakan jaringan yang lebih serius pada dosis tinggi. Karena itu CN banyak ditinggalkan demi CS sejak pertengahan abad ke-20.
Upaya pengembangan “lebih aman”
Riset klinis dan toksikologi memberi tekanan pada dua arah: (1) formulasi dengan partikel lebih besar/kurang persisten untuk mengurangi penyebaran dan residu, dan (2) standar penggunaan dosis, jarak tembak, serta pelatihan taktis untuk mengurangi paparan tidak sengaja. Namun, bukti bahwa ada versi yang benar-benar “aman” masih terbatas; banyak organisasi HAM menekankan bahwa risiko tetap ada.
Alternatif teknologi pengendalian massa masa depan
Teknologi non-kimia yang sedang diuji atau diadopsi meliputi: perangkat akustik jarak jauh (LRAD), sinyal elektromagnetik/energi terarah pada level yang menimbulkan ketidaknyamanan (directed energy/discomfort beams), robot/drone non-mematikan (untuk distribusi atau pengalihan), serta taktik de-eskalasi berbasis intelijen dan psikologi kerumunan. Semua alternatif punya trade-off: efektivitas, risiko cedera, isu etika, dan potensi penyalahgunaan. Laporan kebijakan dan analisis pasar menunjukkan investasi dan pengembangan di area ini meningkat pesat.
Ilmu terbaru menegaskan: CS masih dipakai karena dianggap “lebih aman” dari CN, tetapi bukan tanpa risiko paparan tinggi atau penggunaan di ruang tertutup bisa berbahaya. Upaya untuk “membuatnya aman” cenderung administratif (aturan, pelatihan, kontrol dosis) dan teknis (formulasi), sementara teknologi alternatif non-kimia berkembang cepat namun membawa dilema etika dan teknis sendiri. Untuk artikelmu, saya sarankan menautkan temuan ilmiah (studi klinis/tinjauan) + diskusi etika/kebijakan agar konten punya bobot jurnalistik dan ilmiah.
Fakta Unik dan Edukatif
Mengapa Disebut “Gas Air Mata” Padahal Sebenarnya Bukan Gas
Istilah “gas air mata” adalah penyebutan populer yang sebenarnya kurang tepat secara ilmiah. Zat aktif seperti CS (2chlorobenzalmalononitrile) atau CN (chloroacetophenone) bukan berbentuk gas murni, melainkan padatan kristal halus yang disuspensikan dalam aerosol atau dilarutkan dalam pelarut cair seperti metil isobutil keton.
Ketika ditembakkan, senyawa ini terdispersi di udara dalam bentuk partikel mikro yang menyebabkan iritasi kuat pada mata, hidung, dan saluran napas. Karena efek utamanya adalah merangsang keluarnya air mata, maka muncullah istilah populer “gas air mata”.
Fakta Menarik tentang Bau, Warna, dan Daya Tahan di Udara
- Bau khas: Gas air mata CS memiliki aroma menyengat seperti lada atau merica terbakar, sedangkan CN lebih mirip aroma apel busuk atau bahan kimia sintetis tajam.
- Warna gas: Umumnya tidak berwarna, tetapi saat ditembakkan sering tampak seperti asap putih keabu-abuan akibat partikel padat dan media pembawanya.
- Daya tahan di udara:
- Di udara terbuka, partikel CS dapat bertahan 5–20 menit, tergantung suhu, arah angin, dan kelembapan.
- Di ruangan tertutup, senyawa ini bisa menempel pada permukaan dan bertahan berjam-jam, sehingga efek iritasinya lebih lama.
- Reaktivitas lingkungan: CS dapat terurai oleh cahaya matahari (fotodegradasi) dan kelembapan tinggi, sehingga efektivitasnya menurun lebih cepat di tempat lembap atau berangin.
Mitos Populer Seputar Cara Menghindari Gas Air Mata
❌ Mitos: “Basahi sapu tangan dengan air atau air lemon untuk menahan efeknya.”
✅ Fakta: Air justru dapat melarutkan partikel gas air mata dan memperburuk iritasi kulit dan mata. Air lemon juga tidak terbukti ilmiah menetralkan CS atau CN.
❌ Mitos: “Menutup wajah dengan baju cukup untuk melindungi diri.”
✅ Fakta: Partikel gas air mata sangat halus dan dapat menembus kain biasa. Perlindungan efektif hanya bisa dicapai dengan masker respirator atau pelindung gas industri (N95/P100).
❌ Mitos: “Lari ke arah angin untuk menjauh dari gas.”
✅ Fakta: Arah angin bisa berubah cepat. Sebaliknya, bergerak ke area yang lebih tinggi atau lebih terbuka justru lebih aman karena gas cenderung mengendap di daerah rendah.
❌ Mitos: “Mencuci muka dengan sabun biasa langsung menghilangkan rasa perih.”
✅ Fakta: Sabun biasa kadang memperburuk rasa terbakar karena menyebarkan senyawa CS ke area kulit lebih luas. Gunakan air dingin bersih mengalir tanpa menggosok wajah selama beberapa menit sebelum membersihkan dengan larutan netral ringan (misal saline atau larutan baking soda encer).







 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
%20pada%20Air%20Sungai%20dan%20Limbah%20Industri.png) 
0 comments:
Post a Comment